JALUR SETAN OH JALUR SETAN

TIADA hari tanpa kecelakaan. Itulah kesan yang melekat pada jalan raya Gilimanuk-Denpasar. Memang, nyaris tiap hari berita tentang kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di jalur utama Bali-Jawa itu menjadi konsumsi publik. Baik yang terjadi di wilayah hukum Mapolres Jembrana maupun Tabanan. Mirisnya, kecelakaan juga sering dibarengi melayangnya nyawa.
Pekan lalu saja, berbagai kecelakaan lagi-lagi terjadi di kawasan itu. Mulai sepasang suami-istri yang tewas ditabrak truk hingga sebuah fuso yang nyemplung ke sebuah jurang gara-gara rem blong di daerah Samsam, Tabanan. Itu belum termasuk kecelakaan kecil dengan korban luka-luka.
Berbagai faktor memang menjadi pemicu rawannya jalur yang juga dikenal dengan julukan jalur setan itu. Rata-rata dan umumnya karena kelalaian pengendara dalam mengikuti rambu-rambu lalu lintas.
Selain itu, terus meningkatnya volume kendaraan yang berlalu lintas juga menyebabkan jalur itu kian padat. Maklum, jalur tersebut adalah satu-satunya penghubung Bali-Jawa dari Denpasar menuju pelabuhan Gilimanuk (atau sebaliknya).
Jalur yang berlenggak-lenggok terutama di kawasan Tabanan, juga tidak ideal. Terutama untuk kendaraan berbadan besar yang umumnya adalah truk angkutan. Belum lagi, masalah tak ketatnya pemeriksaan tonase kendaraan besar yang masuk Gilimanuk. Bukan rahasia umum, banyak truk yang tonasenya melebihi aturan bisa lolos dan melanjutkan perjalanan.
Tak hanya itu. Jumlah kendaraan pribadi dan roda dua juga terus meningkat. Sehingga, untuk sebuah jalur utama dan vital, jalan raya Gilimanuk-Denpasar memang sudah tak layak lagi dipertahankan. Sudah saatnya pemerintah melakukan upaya untuk menekan tingginya lakalantas di kawasan itu yang tiap tahun selalu meningkat.
Sayang, sejauh ini pihak Pemerintah Provinsi Bali seperti masih melakukan pembiaran. Membiarkan korban nyawa (dan harta) terus berjatuhan. Serta membiarkan polisi, petugas rumah sakit serta warga harus sering-sering mencium bau mayat akibat kecelakaan di jalan raya.
Memang masalah kecelakaan umumnya disebabkan oleh kelalaian pengendara. Memang ada banyak cerita klenik, sejumlah kawasan di jalur setan itu disebut-sebut tenget (angker). Misalnya, jembatan sungai nu, Tabanan yang terkenal itu. Namun, jelas itu tak bisa jadi pembenaran pemerintah membiarkan korban terus berjatuhan di jalur rawan itu.
Jalur alternatif seperti by pass Prof IB Mantra mungkin salah satu solusinya. Jalur Denpasar-Karangasem sudah beberapa tahun ini lebih “aman” dengan adanya jalan tembus yang membuat Denpasar-Klungkung bisa dicapai hanya dalam 30 menit itu. Harus diakui by pass tak menjamin lakalantas tidak akan terjadi. Tapi mengapa by pass untuk jalur tak kalah pentingnya (Gilimanuk-Denpasar) tak dicoba?.
Sebenarnya sudah lama wacana soal jalan Tol Gilimanuk-Denpasar mencuat. Juga sudah lama ada keinginan agar jarak tempuh Denpasar-Gilimanuk lebih mudah dan cepat. Sebuah keinginan yang membuat Bupati Jembrana, I Gede Winasa sampai-sampai nekat akan membangun bandara.
Namun, sejauh ini semua masih tak jelas. Salah satu pertimbangan adalah mahalnya, pembebasan lahan untuk jalan raya sepanjang hampir 150 kilometer itu. Tetapi, apapun masalahnya, semua pasti bisa asal ada kemauan dari pemerintah. Jawa-Madura saja sudah bisa terhubung lewat jembatan Suramadu.
Kalaupun masyarakat tak ingin Bali-Jawa tersambung, paling tidak pemerintah harus mencoba membuat akses Gilimanuk-Denpasar lebih mudah dan aman. Salah satunya dengan menggandeng investor asing. Bagaimana Pak Gub? (*)

Komentar

Postingan Populer