Pungli Siswa Baru

TAHUN ajaran baru, berarti banyak hal baru. Satu yang biasanya paling dibicarakan adalah Penerimaan Siswa Baru (PSB). Apalagi kalau bukan soal banyak kisah dibalik prosesnya. Yang sering menjadi masalah dan ribut-ribut adalah soal mahalnya biaya bagi siswa baru. Mulai yang resmi hingga berbau pungutan liar (Pungli).
Dari tahun ke tahun, biaya PSB mulai Taman Kanak-Kanak (TTK) hingga Perguruan Tinggi (PT) seolah mengikuti harga kenaikan BBM. Baik sekolah Swasta maupun Negeri, seakan berebut “memancing ikan”. Walaupun pemerintah punya program Sekolah Gratis, namun kenyataan di lapangan masih sama. Mendaftarkan anak sekolah, bagi mayoritas orang tua masih terkesan mahal dan ribet.
Akhir pekan lalu, dunia pendidikan Bali dikejutkan oleh kabar dari Tabanan. SMAN 1 Tabanan yang berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dikabarkan memberlakukan jual beli kursi siswa baru. Nilainya mencapai Rp 4-7 Juta. Kursi itu adalah sisa dari 15 kursi yang ditinggal oleh siswa pendaftar berdasarkan perangkingan. Selain itu, juga ada biaya sukarela sebesar Rp 2,5 Juta bagi orang tua.
Melihat kondisi tersebut, tak salah kalau pendidikan di negeri ini masih mahal. Pendidikan hanya bagi yang mampu, dan sekolah hanya bagi kaum berada saja. Di lain sisi, alokasi 20 persen anggaran pendidikan dari APBN/APBD sesuai amanat UUD 45, masih sebatas mimpi. Mimpi yang biasanya menjadi jualan kampanye para politisi kita.
Memang SMAN 1 Tabanan tak bisa disalahkan sepenuhnya dalam hal ini. Secara obyektif, kasus di sekolah favorit di Lumbung Beras ini, hanya satu dari sekian masalah PSB di negeri ini. Karena bisa jadi, sekolah lain ada yang lebih mahal harga bangkunya. Selain itu, semua bisa terjadi karena ada kesempatan dan kemauan. Artinya, sekolah menawarkan sementara orang tua yang anaknya tak punya nilai cukup tapi punya uang, pasti bersedia membayarnya.
Sehingga, menyalahkan satu pihak (sekolah) saja dalam hal ini jelas tak cukup. Aturan standar nilai untuk masuk sekolah favorit jelas harus terpenuhi dulu. Bagi yang mau masuk SMA favorit, harus punya nilai baik di SMP begitu seterusnya. Sehingga orang tua harus menyadari potensi dan kemampuan sang anak.
Bagi sekolah, jelas harus mengikuti aturan main institusinya. Kerap terjadi sekolah membuat aturan nyeleneh yang menyalahi aturan dari dinas pendidikan. Kontrol dan pengawasan ketat harus diberlakukan oleh pemerintah baik eksekutif maupun legeslatif. Semua harus menyadari, aturan main lah yang harus dijunjung.
Sekolah jelas tak bisa mencukupi kebutuhannya, tanpa anggaran memadai. Terutama bagi sekolah negeri, yang bagi kebanyakan orang tua dan anak masih menjadi dambaan. Membangun dan merawat gedung sekolah, peningkatan kualitas pengajar (guru/dosen), pengadaan buku penunjang dan operasional lainnya, jelas butuh biaya.
Jadi, sebaiknya harus dicari solusi terbaik, agar masalah biaya penerimaan siswa baru tak selalu menimbulkan gejolak. Dan ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah baik pusat maupun daerah. Sebab dengan biaya yang terjangkau dan menjunjung aturan, serta tak adanya pungli, dunia pendidikan kita diharapkan akan sehat. Dan tak kalah penting, melahirkan generasi penerus yang cerdas, kreatif dan bermartabat.(*)

Komentar

Postingan Populer