Pak De Winasa ; (Be) Truth and Dare





     SEKITAR sebulan lalu, saya menonton DVD film semi dokumenter ratu pop dunia, Madonna. Judulnya, Madonna; Truth or Dare (Jujur atau Berani). Di film karya sutradara Alex Keshishian, itu diangkat sisi sebenarnya diva pop era 80-an, yang masih eksis hingga kini tersebut. Semua adalah kisah nyata hidupnya di atas dan di luar panggung.
     Mulai bermacam aksi beraninya di panggung konser (sebagian besar erotis). Lalu hubungan Madonna dengan keluarganya yang sebenarnya religius. Aktivitas dengan para penari lelakinya (kebanyakan gay). Hingga bagaimana dia menghadapi fans, sorotan media, termasuk polisi (konser turnya sering digerebek keamanan).
     Kisah-kisah dari kamar hotel tempatnya menginap dalam tur panjang juga ditampilkan. Termasuk cerita pergaulannya di kalangan jetset dan artis Hollywood. Semua dimuat gamblang, lewat rekaman video berdurasi pendek yang terangkai. Semuanya asli dan apa adanya.
Dari sana, rasa penasaran saya tentang siapa sebenarnya Madonna, sedikit terjawab. Karena, dari yang selama ini (sedikit) saya tahu soal pelantun Like A Virgin itu, ternyata tak seluruhnya benar. Ada yang benar ada yang salah. Namun, bukan soal erotisme hidup Madonna yang penting buat saya dari film itu.
     Di akhir film, ditampilkan cuplikan Madonna menjawab pertanyaan seorang wartawan. Sang wartawan bertanya, apakah aksi (berani) nya selama ini jujur atau berani (truth or dear)? Madonna tegas memilih kata truth (jujur) saat menjawab. Dia mengaku hanya ingin jujur. Jujur (meski banyak yang menentang) dalam mereflesikan diri dan seni (musik), yang dipersembahkan untuk penggemarnya di seluruh dunia.
     Pada ending film (sesaat setelah Madonna menjawab pertanyaan wartawan), sang sutradara menuliskan kalimat yang bagi saya bermakna dalam; the ultimate dare are to tell the truth. Terjemahannya, kurang lebih berarti; keberanian terbesar (seseorang) adalah mengatakan yang sebenarnya (jujur).
     Saya bukan bermaksud ingin menyamakan Madonna dengan Pak De (nama akrab Bupati Jembrana, Prof Dr drg I Gede Winasa) lewat judul tulisan ini di atas, dengan mengganti kata or menjadi and. Lagi pula, apa hubungannya? (he..he..). Kecuali mungkin soal sisi kontroversialnya. Lagi pula, saya merasa, apa salahnya? Toh, tak ada yang menyangkal, jika konon Presiden pertama kita, Ir Soekarno, pernah punya hubungan spesial dengan bintang Hollywood era 50-an, mendiang Marlyn Monroe. Sekali lagi, ini juga tidak ada hubungannya.
     Lewat tulisan ini, Saya juga bukan bermaksud akan menilai, apakah Winasa sukses atau gagal selama (dua periode) berkuasa di Bumi Makepung. Soal penilaian itu relatif. Bagi Saya, ada yang lebih penting daripada menimbang plus-minus seorang Winasa. Yakni bagaimana masyarakat Jembrana menatap masa depan yang lebih baik setelah Pilkada nanti.
     Saya juga bukan akan memprediksi bagaimana nasib Winasa setelah (jika) lengser nanti. Bukan pula soal bagaimana nasib proyek-proyek prestisiusnya. Serta bagaimana kelanjutan sejumlah kasus hukum yang diduga melibatkan suami mantan Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari itu. Biarlah waktu yang akan bicara soal itu.
     Lagipula, terlalu dini mengatakan Winasa akan benar-benar lengser, setelah 15 November 2010 (akhir masa jabatannya) nanti. Dia masih berpeluang mengikuti jejak Wali Kota Surabaya, Bambang DH. Orang nomor satu pada dua periode terakhir di Kota Pahlawan itu, kembali naik, meski dengan turun jabatan sebagai Wakil Wali Kota.
     Itu jika Winasa benar-benar sukses menjadi pemenang Pilkada Jembrana nanti sebagai Wakil Bupati (Wabup). Bukankah dia sudah bertekad menggandeng anak lelaki tertuanya, Ngurah Gede Patriana Krisna (Ipat) yang diplot menjadi Calon Bupati (Cabup). Sebuah langkah kontroversial yang mendapat dukungan, sekaligus penolakan dan kecaman dari sana-sini.
     Bagi saya, (sejauh ini) keputusan itu adalah puncak kontroversi seorang Winasa. Sejak pelantikan pertamanya yang heboh (diwarnai tertembaknya seorang demonstran) pada tahun 2000 lalu, aneka koleksi rekor MURI nya, hingga pencalonan dirinya sebagai Cagub berpasangan dengan IGB Alit Putra (Cawagub) pada Pilkada Bali 2008 lalu. Plus berbagai kebijakan berani dan sosok flamboyannya selama menjadi Jembrana 1. Semua memang jadi buah bibir.
Boleh saja Winasa beralasan, keputusan (jadi Cawabup) itu adalah sebuah panggilan nurani. Bahwa dia ingin melanjutkan aneka programnya, yang dalam dua kali jabatan banyak agenda belum kesampaian. Bahwa Bang Win (panggilan Winasa oleh masyarakat Pesisir Jembrana yang mayoritas muslim), masih ingin mengabdi atas nama rakyat Jembrana. Bahwa Winasa ingin bla..bla…bla... Itu sah-sah saja, semua tak salah.
     Kalau mau jujur (harus diakui), Winasa adalah Bupati Jembrana yang paling kesohor selama memimpin Bumi Jegog. Sejak menggantikan Ida Bagus Indugosa sepuluh tahun lalu, multi gebrakan dia geber. Puluhan proyek dan program mercusuar digagasnya. Dari rencana pembangunan bandara udara di kawasan padang rumput Awen, hingga pendirian Jimbarwana TV yang kini entah bagaimana nasibnya.
     Yang paling “merakyat” adalah program serba gratis (pendidikan dan kesehatan), serta birokrasi satu pintu di kompleks pemerintahannya yang megah, di Civic Center Pecangakan (Negara). Bagi yang ingin mencari surat keterangan miskin, jangan harap ada di Jembrana. Di sana sudah diklaim tak ada rakyat miskin. Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) produk Gubernur Made Mangku Pastika di sana tak berlaku (satu-satunya di Bali), karena sudah ada Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), yang terakhir kabarnya seret anggaran. Di Jembrana pula, satu-satunya kabupaten di Nusantara yang menggunakan touch screen untuk pemilihan Kepala Desa atau Kepala Dusun.
     Soal olahraga, tak ada yang meragukan Winasa yang menjabat Ketua Umum KONI Jembrana. Hanya Jembrana yang berani menjadi tuan rumah Porda Bali (kini Porprov) dua kali. Pertama pada 2005 dan 2011 mendatang. Bandingkan dengan Kabupaten terkaya di Bali, yakni Badung yang harus meminta jeda empat tahun, untuk berani menggelar Porprov 2009 lalu. Banyak masyarakat Jembrana yang menikmati program-program Winasa tersebut, dengan tak sedikit daerah lain yang geleng-geleng kepala dibuatnya.
     Okelah, paling tidak banyak yang mengakui semua itu. Lihat saja koleksi MURI untuk Jembrana dan Winasa. Lihat pula penuhnya Hotel Jimbarwana yang berdiri di atas lahan Rumah Jabatan Bupati Jembrana, di setiap pekan. Dari hotel seberang Gedung Mendopo Kesari, Negara itu, puluhan pejabat asal daerah lain memulai aktivitasnya (kadang ngantri) untuk sekadar studi banding di Jembrana. Dan berbagai prestasi Jembrana lewat tangan dingin Winasa lainnya, yang layak dicap sensasional.
     Melihat itu, kalau mau jujur lagi, rasanya sangat langka Bupati seperti Winasa di Negeri ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan Bupati/Wali Kota lain di Bali. Sekali lagi, saya bukan menilai, tapi itulah faktanya.
Jadi buat saya, apa yang telah dilakukan Winasa selama ini sudah luar biasa. Bahkan (mungkin), melebihi ekspektasi dari pemimpin sekelas Bupati manapun (terutama di Bali). Tapi, jika pun Winasa menyatakan masih belum puas, bagi saya semua tak harus dilimpahkan kepada beliau seorang diri. Saya percaya, masyarakat Jembrana sudah dewasa. Banyak generasi di ujung barat Pulau Bali yang saya kira mampu melanjutkannya. Bukankah Pak De punya motto; Kalau mau pasti bisa?
     Yang pasti, Pak De tak perlu sampai membuat film semi dokumenter seperti Madonna. Saya kira masyarakat Jembrana tak memiliki memori pendek untuk melupakan Pak De begitu saja. Yang penting, Pak De dengan semua jerih payahnya (memang) telah mengabdi tulus dan didasari niat baik. Yakni untuk membangun Jembrana dan masyarakatnya agar lebih maju. Saya pun yakin rakyat Jembrana akan tetap menghormati segala pengabdiannya. Minimal, patung kepala Winasa di Paviliun (VIP) RSU Negara atau Twin Tower megah di seberang Civic Center Pecangakan adalah bukti, betapa monumentalnya seorang Pak De.
     Namun, saya percaya, akan lebih terhormat rasanya, jika Pak De (dengan ikhlas) mewariskan segala kebaikan itu kepada orang (tokoh) lain. Terutama yang dipercaya dan dianggap layak oleh masyarakat Jembrana lewat Pilkada nanti. Harapannya, yang baik dilanjutkan, dan yang kurang selama kepemimpinan Winasa bisa disempurnakan. Karena bagaimanapun, hukum alamnya adalah: nobody’s perfect (tak ada manusia yang sempurna).
     Tak elok rasanya, jika Pak De tetap memaksakan kembali ke “istananya” (di Pecangakan), yang saban tahun diramaikan deru motor road race. Bagi saya, itu sama saja dengan memotong regenerasi kepemimpinan di Jembrana. Sebuah kondisi yang tak sehat untuk demokrasi pada era reformasi ini. Sangat indah rasanya, jika Winasa legowo lengser dengan menyaksikan penggantinya lebih baik, minimal menyamai sejumlah prestasinya.
     Harapan saya, Pak De Winasa bisa mencontoh mantan Presiden Afrika Selatan (Afsel), Nelson Mandela. Tokoh pejuang kaum kulit hitam Afsel itu, begitu cantik melakukan regenerasi kepemimpinan, pasca tumbangnya rezim apartheid pada awal 1990-an. Nama Mandela pun tetap harum dan dihormati hingga kini. Bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini menolak wacana perubahan batas jabatan Presiden yang dua periode?
     Saya merasa perlu menuliskan ini. Karena Kita semua tahu, terakhir Bupati Winasa menginginkan Pilkada Jembrana digelar sebulan sebelum masa jabatannya berakhir (15 November) nanti. Sudah dua kali Winasa menggugat KPUD Jembrana yang akan menggelar Pilkada pada bulan Desember 2010 mendatang. Untuk yang satu ini, jujur, saya sangat-sangat miris (walaupun tak punya tendensi apa-apa dan tak punya hak pilih di Pilkada Jembrana nanti).
     Tapi, bagaimana pun dan apa pun itu, memang tak ada yang melarang, jika Pak De Winasa benar-benar akan comeback pada Pilkada Jembrana nanti. Toh, Pak De punya reputasi mentereng (dengan segala kekurangannya) selama memimpin Jembrana. Namun, sekali lagi, saya ingin kembali mengambil terjemahan kalimat dari ending film Madonna di atas; keberanian terbesar (seseorang) adalah mengatakan yang sebenarnya (jujur).
     Jadi (dengan segepok pengakuan itu), kalau memang Pak De tetap (berani) memaksakan diri ikut tarung dalam Pilkada Jembrana nanti, saya mau bertanya, dan saya berharap, jawabannya jujur dan berani (truth and dare).
     ”Sebenarnya, apalagi yang Pak De cari?,”(*)
Foto: detik.com


Komentar

Postingan Populer