Perda Gigolo

HASIL konvensi pariwisata sex terhadap anak terus bergulir. Bahkan, Pansus (Panitia Khusus) Perda Trafficking (penjualan anak) akan melebar obyeknya. Yakni, sebuah Perda yang tak hanya khusus memberikan perlindungan bagi anak-anak dan kaum wanita saja.
Ketua Pansus Trafficking DPRD Bali, AA Anie Asmoro menjelaskan, nantinya perdagangan dan pelecehan seksual untuk kaum laki-laki juga akan termasuk dibahas. Salah satu pertimbangannya, karena (di Bali khususnya) perdagangan terhadap laki-laki juga marak.
Yang paling ngetop tentu saja, keberadaan gigolo (pelacur laki-laki) yang biasa memberikan “pelayanan” terhadap bule-bule wanita kesepian di sejumlah pusat pariwisata Pulau Dewata. Sebuah fenomena lama yang kerap disebut bumbu pariwisata itu sendiri. Plus seringnya kasus pedofilia terjadi di Bali.
Nah, jika kemudian lelaki pun akan dilindungi Perda, jelas ini agak terlambat. Pasalnya, selama ini perlindungan terhadap anak memang lebih banyak difokuskan kepada perempuan saja. Padahal, kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki terutama di Bali tak pernah reda. Tak hanya soal gigolo, tapi juga pedofilia terhadap anak di bawah umur.
Kasus yang paling menghebohkan terjadi pada Mei 2004, lalu. Mantan Diplomat Australia, William Stuart Brown alias Tony didakwa mencabuli dua anak laki-laki di Bali. Pria asal Negeri Kanguru ini divonis Pengadilan Negeri Amlapura, Karangasem dengan 13 tahun penjara. Tony didakwa melanggar Pasal 82 UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Yang menggegerkan, sehari setelah vonis, Brown ditemukan tewas gantung diri.
Banyak modus dilakukan pelaku dalam pedofilia maupun pelacuran gigolo. Mulai memanfaatkan kemiskinan korban (umumnya di bawah umur), hingga mengiming-imingi hidup mewah serta barang. Yang celakanya, itu banyak dimanfaatkan oleh anak-anak dan pria yang mencoba jalan pintas untuk memperbaiki ekonomi.
Jadi, apakah sebuah perda bisa menjadi jawaban atas masalah ini? Jelas semua akan dijawab oleh waktu. Perdagangan anak, apapun itu (pria maupun wanita) sebenarnya didasarkan pada desakan ekonomi. Banyak kasus terjadi karena kesepakatan kedua belah pihak. Sederhananya, ada uang ada barang dan sama-sama tak dirugikan.
Masalah perdagangan anak, memang bak gunung es yang memuncak di permukaan. Jelas tak sebanding dengan yang terlihat di dasar. Banyak korban yang memilih bungkam, baik karena sudah terpenuhi keinginannya, atau juga karena takut.
Yang jelas, masalah ini tak cukup hanya dengan Perda semata. Peningkatan kesejahteraan rakyat, adalah salah satu kunci penanggulangannya. Peningkatkan ekonomi, termasuk kesamaan hak dalam pendapat pekerjaan, plus lapangan kerja yang terbuka, pendidikan, kesehatan serta hak kesejahteraan lainnya harus diakses seluruh rakyat.
Tak kalah pentingnya adalah kesadaran masyarakat sendiri, terutama pendidikan awal dari keluarga. Banyak korban trafficking yang berasal dari keluarga di bawah garis kemiskinan. Pun demikian dengan pemerintah, terutama Bali yang wajib harus terus aktif mengantisipasinya, mengingat destinasi Bali sebagai Pulau Pariwisata Internasional. Jangan baru tersentak (lagi) dan latah dalam masalah ini setelah korban jatuh, atau setelah dibahas dalam sebuah konferensi.(*)

Komentar

Postingan Populer