Topeng Pastika untuk Buyan

HAMPIR sepekan, Gubernur Made Mangku Pastika mendapat gedoran kanan-kiri. Yakni penolakan izin pengelolaan kawasan Danau Buyan oleh investor yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat. Mulai PHDI, Dewan, hingga sejumlah LSM.
Semua berawal sejak Jumat (16/1) lalu. Saat itu, Gubernur menerima perwakilan PT Anantara untuk presentasi proyek bernama Buyan Eko Cultural Heaven (BECH). Disebut-sebut, sang calon investor (PT Anantara) sudah berkiprah sejak 1986. Namun, baru sebatas pembuat konsep Budaya untuk Telkomsel dan mengaku berpusat di Malaysia.
Lewat Lila Sukotjo, salah seorang komisarisnya, pihak Anantara membawa segepok proposal untuk Gubernur. Poin utamanya, Anantara ingin mendapat izin dari Gubernur dan Departemen Kehutanan (Dephut) untuk pengelolaan kawasan Danau Buyan, di Desa Pancasari, Buleleng. Lahan yang diincar adalah tanah seluas 60 hektare di sekeliling Danau tersebut. Termasuk danau sendiri. Lahan tersebut ada dalam kepemilikan Dephut (Negara).
Proyek tersebut dikonsep sebuah pembangunan ekowisata dengan wisatawan berkualitas tapi tak merusak lingkungan. Dalam rancangannya, Anantara akan membuat sejumlah bidang usaha di wilayah itu.
Estimasinya, akan ada seribu tenaga kerja yang diserap dari usaha ini. Dengan janji 60 persen melibatkan orang lokal. Anehnya, dari ribuan orang itu, 600 diantaranya ternyata khusus penari. Mereka akan menari dua-kali seminggu.
Mereka akan menari di panggung terbuka yang akan dibangun di atas Danau yang disucikan umat Hindu itu. Selain itu, rencananya danau juga akan dikeruk agar lebih dalam. Pihak Anantara sendiri masih merahasiakan nilai investasinya. Namun melihat maket proyek tersebut, tak salah kalau diduga bernilai triliunan rupiah.
Wajar jika kemudian proyek itu menuai penolakan. Mengingat proyek besar semacam ini bukan barang baru di Bali. Apalagi memasuki wilayah sensitif bagi umat Hindu. Karena, danau, hutan, gunung dan laut adalah wilayah yang disucikan umat. Apalagi, sampai membangun proyek komersial di atas Danau yang melanggar Bhisama PHDI, serta bertentangan dengan purana Bali. Keinginan investor itu pun menyalahi Perda No. 3/2005 tentang RTRW.
Lainnya, Dewan Renon menduga izin prinsip dari Bupati Buleleng, Putu Bagiada untuk PT Anantara adalah bodong. Karena sudah turun untuk calon penanam modal, meski proyek belum berjalan. Sehingga pihak wakil rakyat dan PHDI tegas meminta Gubernur tak perlu lagi mengkajinya, tapi langsung menolak saja proposal itu.
Serangan lain untuk Gubernur pun datang bertubi-tubi. Akhir pekan lalu, Aliansi Umat Hindu Muda Indonesia (AHMI) dan Sahabat Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) menggelar demo. AHMI Kamis (22/1) lalu mempertanyakan janji Bali Mandara (Aman, Damai dan Sejahtera) Pastika saat Kampanye Pilkada. Sementara sejumlah aktivis Walhi menggunakan topeng berwajah Gubernur Pastika dalam aksinya Jumat (23/1) lalu. Intinya mereka juga ikut menolak proyek Danau Buyan.
Harus diakui, sebagai bagian NKRI, Bali tak bisa begitu saja menolak investasi. Memang, proyek ini berjanji tak mengeksplorasi terlalu dalam isi perut kawasan Danau Buyan, seperti halnya proyek Geothermal (panas bumi) di Bedugul. Gubernur sendiri memang masih mempelajarinya, dengan pertimbangan kasus yang menimpa Taman Bali Festival di Padanggalak, Sanur. Dimana, lahan yang disewakan Pemprov justru kini digadaikan investor ke Bank.
Tapi, ingat!, Masih banyak lahan investasi yang bisa digarap di Bali, tanpa harus mengeksploitasi lingkungan. Masih banyak bidang usaha yang bisa dibangun di Bali tanpa harus melanggar bhisama. Tanam modal tak harus di wilayah suci bung!.
Jadi, sudah saatnya Gubernur cepat bersikap. Gubernur jangan jadi pemimpin peragu. Jangan sampai proyek itu seperti Geothermal yang sudah terlanjur berjalan. Ambil sikap sejak sekarang, jangan mengeluarkan kebijakan bertopeng kepentingan bisnis investor!.(*)

Komentar

Postingan Populer