Raja Mangkir

SISA feodalisme memang sulit lenyap dari bumi Nusantara. Pelestarian budaya adalah salah satu alasan hal itu masih dipertahankan. Hanya, sangat disayangkan, di era sekarang masih banyak hal-hal berbau feodal yang sulit tersentuh hukum. Kasus yang melilit Raja Denpasar IX, Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan salah satu contohnya.
Setelah dilaporkan seorang wanita bernama Putu Lely Mawarni dalam kasus jual-beli labe pura, pria bernama asli Tjokorda Ngurah Mayun Samirana ini seolah hilang ditelan bumi. Parahnya, saat dipanggil Polda Bali, pada Kamis (23/4) lalu sang raja juga mangkir alias tak memenuhinya. Alasannya, karena mantan anggota DPRD Bali era 70-80an itu sedang berada di Jakarta.
Secara harfiah, istilah raja dalam arti sesungguhnya pada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebenarnya sudah tidak ada. Hal itu diakui pula oleh sang raja Denpasar IX yang “naik tahta” dalam acara wah pada akhir 2005 lalu tersebut.
Istilah raja di sini sejatinya hanyalah sebuah simbol dalam kultur. Bukan raja dengan kekuasan absolut seperti di masa lalu. Bukan pula raja dengan kekuatan politik atau harta, karena statusnya hanyalah penglingsir (dituakan) dalam keluarga puri. Sehingga jelas, di mata hukum negeri ini Cok Samirana panggilan akrab sang raja tak jauh beda dengan masyarakat umum. Demikian pula dengan raja-raja kecil lainnya di beberapa kabupaten di Bali.
Apapun alasannya, sebagai tokoh masyarakat, raja Denpasar seharusnya menjadi panutan. Termasuk dalam masalah hukum. Sehingga, patut disayangkan jika setelah sekian lama kasus ini bergulir, sang raja belum juga terlihat tanggap untuk cepat menyelesaikannya.
Sangat diyakini, mencuatnya sebuah kasus hingga sampai ke telinga publik, umumnya karena sudah tak adanya lagi kata sepakat dalam musyawarah. Artinya, ketika upaya damai buntu, maka hukumlah jalan selanjutnya. Dan itu berarti juga, masalah yang menyangkut nama sang raja ini tak bisa dibilang kecil. Apalagi, sebelumnya Cok Samirana juga tersangkut kasus penipuan biro perjalanan dalam tour raja-raja nusantara.
Lalu sampai kapan kasus ini akan berakhir, jika panggilan Direktorat Reskrim Polda Bali terus-terusan tak digubris sang raja?. Di sinilah pihak para penegak hukum kita di Polda harus terus diyakinkan. Bahwa kasus yang mereka tangani adalah kasus umum. Kasus perdata seperti yang sehari-hari mereka tangani.
Penegak hukum harus disemangati, bahwa yang akan mereka lidik adalah bukan seorang raja dengan kekuatan super power. Bukan pula seorang raja yang harus ditakuti. Sebaliknya, sang raja pun tak boleh takut. Kalau tak salah kenapa harus ngumpet?. Karena harus diingat, hukum kita berpegang pada azas praduga tak bersalah. Jadi, patut kita tunggu, janji Polda Bali untuk memanggil paksa sang raja jika mangkir lagi pada panggilan kedua.(*)

Komentar

Postingan Populer