ETIKA BERKOMITMEN

SECARA kasta, Perseden Denpasar memang di bawah Perst Tabanan (Divisi I nasional) dan PS Bangli (Divisi II nasional). Namun, secara historis, Perseden tetaplah salah satu klub legendaris di Bali. Perseden tetaplah barometer sepak bola Pulau Dewata. Dan perhatian terhadap Perseden tetap besar. Perseden tetaplah Perseden.
Sehingga patut dipertanyakan, jika kemudian Pengurus Perseden tidak bisa menjaga etika dalam berkomitmen. Yakni, janji mereka melakukan pembinaan secara kontinyu, pasca Perseden tak lagi mengikuti kompetisi nasional.
Mungkin iya, para pentolan LCM (Laskar Catur Muka), kelompok suporter mereka yang terkenal vokal itu, sudah melupakan masa emas Perseden di Divisi Utama. Mungkin juga, mereka sudah tak lagi berharap stadion Ngurah Rai bisa bergemuruh riuh. Seperti saat tim oranye menjamu tamu-tamunya dari se-antero tanah air beberapa tahun lalu. Lupakan saja itu. Namun, minimal komitmen itulah menjadi harapan mereka kini.
So, saatnya Pengurus Perseden memberikan bukti kepada publik bola kota Denpasar. Bahwa keputusan menarik diri dari liga nasional itu tepat. Bahwa Perseden mundur dari elit nasional, karena untuk penghematan APBD. Bahwa Perseden mundur adalah untuk mencetak pemain sepakbola handal, tanpa menghambur-hamburkan uang rakyat.
Saatnya, Pengurus Perseden membuktikan komitmen mereka dengan konsisten. Selasa 5 Mei lalu, kebijakan hangat dikeluarkan pengurus dengan akan menggulirkan kompetisi yang lebih ketat. Mereka akan membatasi pemain berusia maksimal 21 tahun di kompetisi internal 2009. Itu sangat sensasional dan berani. Karena sebelumnya, pemain jago kapuk pun bisa turun di ajang itu. Sayang, semua berantakan. Dua kali pengurus meralatnya. Ujung-ujungnya, setiap klub boleh menggunakan lima pemain berusia maksimal 30 tahun turun di kompetisi.
Lalu jika demikian, di mana letak komitmen itu? Di mana letak konsistensi para petinggi Perseden? Seharusnya, dalam hal ini Pengurus Perseden tegas sejak awal. Tidak buru-buru mencuatkan aturan pertama (maksimal pemain 21 tahun). Paling tidak, pengurus mengajak bicara klub anggota untuk duduk satu meja membahasnya. Bukan melemparkannya ke media, kemudian meralat dan meralatnya lagi. Jelas itu tidak konsisten.
Kalau sejak awal pengurus gamang, ragu dan mudah diintervensi bagaimana nasib kompetisi nanti? Jelas itu tak sesuai komitmen mereka sejak awal. Bolehlah Pengurus tak menganggap serius masalah ini. Bolehlah ada pengurus yang mengatakan,”Ah, ini kan cuma kompetisi antar kampung (tarkam),”. Oke. Tapi, harus diingat kembali, hanya tinggal komitmen itulah sisa harapan gibol dan LCM sebagai kompensasi absennya Perseden di tingkat nasional. Gibol jelas ingin melihat kompetisi internal berjalan rapi sejak awal. Minimal, Gibol menginginkan pengurus tegas. Bukan inkonsistensi dan berubah-ubah di awal, di tengah dan di akhir kompetisi nanti. Yang pasti, gibol Denpasar tak ingin menangis kedua kali!. Semoga Pengurus Perseden mengingat kembali komitmen itu.(*)

Komentar

Postingan Populer