Awas Upal Pilpres

IBARAT pepatah, ada gula ada semut. Tak jauh beda dengan suasana jelang pesta pemilihan umum (Pemilu). Baik pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres). Ada partai yang membutuhkan massa, atau sebaliknya, massa berebut partai. Mulai rebutan yang ringan seperti pembagian atribut partai, macam : kaus, bendera, spanduk dan baliho, hingga matangannya saja alias uang.
Walaupun money politics dalam pemilu jelas bertentangan dengan Undang-undang, dalam kenyataannya itu tetap ada. Baik yang terang-terangan maupun halus. Malah dalam setiap kampanye, para caleg yang “sok suci” selalu berkata ; ambil uangnya, pilih (contreng) sesuai hati nurani.
Tanda-tanda money politics kian nampak jelang hari H pemilihan. Salah satu yang mulai berseliweran adalah adanya kasus-kasus Upal alias uang palsu. Di Tabanan, Jumat (12/6) lalu seorang pemilik kios tertipu setelah seorang pembeli tak dikenal membeli bakul. Uang Rp 20 ribuan dari pembelinya sebanyak 12 lembar (Rp 220 ribu) semuanya palsu. Di Gianyar juga hampir sama, dua kakak beradik diamankan karena mengedarkan uang palsu dengan nominal Rp 50 dan 100 ribu.
Memang yang matangannya (uang) saja ini, jelas tidak mudah. Jika atribut bisa disiasati dengan menekan bujet, tidak halnya dengan uang. Kalau mau harga kaus atau kain bendera yang lebih murah, tinggal cari yang harganya sesuai keinginan partai atau caleg. Tapi kalau bagi-bagi uang, jelas tidak bisa. Kalau mau bagi Rp 50 ribu atau Rp 100 ribuan ya jelas nilai itu (asli) yang harus keluar.
Di lain sisi, ada kepentingan dari caleg maupun tim sukses di Pilpres. Jika tak bagi-bagi uang, jelas kampanye akan sepi. Atau calonnya tak akan terpilih. Di sisi lain, para penggembira seolah kalap. Memanfaatkan momen basah ini untuk mengais uang sebanyak-banyaknya dari tim sukses. Bahkan kadang tak mau tahu apakah uang yang diterima asli atau tidak.
Harus diakui, tak semua upal berasal dari tim sukses di Pilpres atau caleg pileg. Sebab, kerap ada pihak ketiga yang menunggangi dan memanfaatkannya. Terutama komplotan upal yang punya keahlian dalam memalsukan dan mendistribusikannya ke masyarakat. Mereka bergeliat dengan beraksi ketika money politics mulai merebak seperti saat Pemilu.
Di sinilah tugas kita semua untuk serius mengantisipasinya. Mulai kesadaran masyarakat sendiri hingga pemerintah. Terutama pihak Bank Indonesia (BI) selaku pengawas peredaran keuangan. Termasuk polisi dan pihak terkait lainnya. Sosialisasi soal keberadaan upal harus kontinyu dilakukan. Seperti iklan yang familiar dengan pesan 3D : Dilihat, Diraba, dan Diterawang

Komentar

Postingan Populer