Kisruh Pemekaran Tamblingan

SEJARAH mencatat, perjuangan sebuah bangsa (kaum) untuk merdeka selalu diwarnai kekerasan dan darah. Dalam bentuk apapun. Mulai etnis minoritas yang ingin membentuk negara sendiri, hingga yang sedang tren di dalam negeri, Pemekaran Daerah. Sebuah usaha pembentukan provinsi, kabupaten, maupun desa yang terpisah dari induknya. Khusus di Indonesia, semua memang dimungkinkan oleh Undang-Undang (UU) no. 23 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Di Bali pun trennya juga mulai marak, bahkan hingga yang terkecil, yakni pemekaran Desa Adat. Seperti kisruh pemekaran Banjar Adat Tamblingan menjadi Desa Adat Tamblingan. Mereka sedang berusaha untuk lepas dari desa adat induknya, yakni catur desa (Goblek, Munduk, Gesing, dan Umajero). Prosesnya pun berjalan tidak mulus.
Puncaknya terjadi awal pekan lalu. Tepatnya, pada Selasa (21/7) pagi. Saat itu, rumah kelian adat Tamblingan, Nengah Punia, diserbu dan dirusak sejumlah orang. Beruntung sang bendesa dan keluarganya selamat, meski rumah dan harta bendanya dihancurkan. Di sisi lain, apapun motif dan dugaan-dugaan di baliknya, jelas kasus ini sudah tidak sesuai dengan budaya Bali yang selalu mengedepankan musyawarah dalam memecahkan masalah. Memprihantinkan.
Mengurut dua darsa warsa ke belakang, sebuah kemerdekaan (melepaskan diri, red) memang sangat mahal. Bahkan nyawa jutaan manusia menjadi taruhannnya. Awal 90-an, dunia dikejutkan pecahnya Uni Soviet dan Yoguslavia. Uni Soviet kini sudah menjadi 15 negara (Armenia, Azerbaijan, Belarusia, Estonia, Georgia, Kazakstan, Kirgistan, Latvia, Lithuania, Moldova, Rusia, Tadjikistan, Turkemnistan, Ukraina, dan Uzbekistan).
Sedangkan Yugoslavia menjadi 6 Negara (Bosnia-Herzegovia, Kroasia, Makedonia, Montenegro, Serbia, dan Slovenia). Tak terhitung berapa nyawa dan harta yang melayang dalam proses perpecahan dua Negara besar itu.
NKRI pun sudah menjadi 33 Provinsi (plus Timor Timur lepas, yang kini menjadi Republik Demokratik Timor Leste). Khusus lepasnya Timor Timur (hasil referendum 1999), juga sudah tak terhitung berapa nyawa terenggut dalam perjalanannya.
Terakhir, kita dikejutkan dalam kasus proses pemekaran Provinsi Tapanuli yang ingin lepas dari Sumutera Utara (Sumut). Tumbalnya, tak tanggung-tanggung Ketua DPRD Sumut, Abdul Azis Angkat, harus tewas karena serangan jantung setelah dijepit massa dalam demo besar-besaran di Medan, 3 Februari 2009 lalu.
Okelah, kasus Tamblingan tak bisa dibandingkan dengan sejarah maupun kasus-kasus tersebut. Tapi, paling tidak, semua pihak, khususnya Pemerintah Buleleng dan Bali bisa menjadikannya sebuah pelajaran. Selagi kasus Tamblingan belum terlalu melebar dan jauh. Pihak polisi pun wajib obyektif dalam kasus ini. Pelaku yang mengarah ke tindakan kriminal jelas harus ditindak. Tak memandang siapa dan dari mana pelakunya, untuk menegakkan martabat hukum.
Sementara pihak-pihak terkait di pemerintahan maupun tokoh masyarakat, harus secepatnya melakukan dan mencari solusi pemecahannya. Kalau Tamblingan sudah siap berdiri sendiri, segera dilakukan penetapan. Jika masih ada masalah, segera selesaikan sebaik mungkin. Baik secara adat maupun aturan yang ada. Sekali lagi..sebelum ada darah tumpah di Tamblingan.(*)

Komentar

Postingan Populer