Teror Iseng

DAMPAK bom JW Marriot dan Ritz-Carlton, Jakarta masih terasa. Peristiwa di pagi hari pada 17 Juli 2009 itu pun menjadi “ilham” bagi mayoritas bangsa Indonesia. Baik yang bersifat positif dan juga negatif.
Yang positif, salah satunya membuat kita semakin waspada. Bangsa ini pun semakin menyatukan tekad untuk memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya. Pihak pemerintah, khususnya keamanan juga terus berusaha mengungkap pelakunya. Termasuk motif dan dugaan-dugaan di baliknya.
Sayang, di balik upaya pemberantasannya, masih ada pihak-pihak yang membuat suasana kian runyam. Baik yang sifatnya serius maupun main-main. Di Denpasar misalnya. Jumat (31/7) lalu, Madrasah Ibtida’iyah (MI) Al-Miftah di bilangan Jalan Kartini No. 26 Denpasar itu, diteror bom via SMS (Short Massage Service).
Pihak sekolah yang setara Sekolah Dasar (SD) itu menerima pesan pendek pada Kamis (30/7). Sang kepala sekolah, Fadoli dan seorang guru bernama Nurhasanah menerima pesan berbunyi : gedung sekolah akan diledakkan pada pukul 10.00 Jumat (31/7). Yang membuat “merinding”, pesan itu dikirim oleh seseorang yang mengaku bernama Noordin (maksudnya Noordin M. Top). Nama tak asing yang sejak beberapa tahun belakangan menjadi most wanted (paling dicari) kepolisian kita.
Dalam suasana seperti saat ini, tak salah jika pihak sekolah dibuat panik. Sehingga, tak salah pula ketika mereka kemudian menghubungi pihak Polda Bali yang menurunkan tim Gegana. Hasilnya? Tim Gegana tak menemukan apa-apa.
Kasus seperti di MI Al Miftah memang yang bukan pertama kali di Bali. Pasca bom Bali I (2002) dan II (2005), sejumlah teror iseng bak mainan. Sejumlah gedung instansi, baik pemerintah maupun swasta seperti Bank sudah pernah mengalaminya. Umumnya memang hanya sebuah keisengan yang tak terbukti.
Meski demikian, masalah ini harus tetap serius ditangani oleh pihak berwajib. Sebab, terbukti atau tidak, benar atau hanya main-mainan, jelas keisengan tersebut sudah meresahkan. Sehingga tak jauh beda dengan teror yang sebenarnya, karena sudah masuk ranah hukum. Yakni melanggar Undang-Undang (UU) Terorisme. Jadi, sudah seharusnya polisi menelusuri pelakunya, minimal untuk menimbulkan efek jera. Seperti halnya sejumlah teroris iseng yang sudah diproses.
Masalah terorisme memang pelik. Militansi yang terorganisir secara rapi membuat akar terorisme sangat sulit diberantas. Maraknya kelompok-kelompok teroris yang memiliki pemahaman dengan aliran keras menambah runyam masalah. Mirisnya, secara umum korban dari sebuah operasi teroris adalah orang-orang tak berdosa. Amerika Serikat sekali pun masih menganggap terorisme sebuah mimpi buruk. Bahkan tak bisa memeranginya bak di film action legendaris, Rambo yang selalu menang di akhir cerita.
Jadi, apapun opini yang berkembang soal siapa dan dari mana asal teroris, masyarakat harus dewasa memahaminya. Tak menyalahkan satu kelompok atau aliran tanpa ada bukti.
Jika pun sudah terbukti, tetap saja teroris adalah teroris. Bukan bagian dari kelompok manusia yang beradab dan berperikemanusiaan. Artinya mereka adalah pelaku kriminal. Dan itu menjadi tugas pihak keamanan menanganinya, dan memprores kasus hukumnya sebaik-baiknya. Sementara sebagai masyarakat, kita pun harus ikut memeranginya. Termasuk membantu pihak keamanan. Atau minimal tak menjadi bagian dari terorisme itu sendiri, walaupun hanya sekadar iseng.(*)

Komentar

Postingan Populer