Mudik, Utamakan Selamat!

TERHITUNG mulai hari ini (14/9), tinggal seminggu lagi hari raya idul fitri (Lebaran). Diperkirakan, idul fitri (1 Syawal 1430 H) jatuh pada hari Senin tanggal 21 September. Itu berarti, hari ini sudah masuk H-7 (tujuh hari sebelum lebaran). Yang berarti pula, saatnya tradisi mudik (pulang kampung), bagi umat muslim di negeri ini telah tiba.
Arus mudik di Bali sendiri sudah mulai terasa, sejak Sabtu (12/9) lalu. Pelabuhan Gilimanuk yang merupakan pintu menuju Jawa sudah mulai ramai (Radar Bali, 13/9). Antrean penumpang, dengan kendaraan roda dua maupun empat mulai berjejer untuk menunggu giliran naik feri penyeberangan.
Diperkirakan, jumlah pemudik akan terus bertambah hingga mencapai puncak, yang biasanya jatuh pada H-3 (Jumat 18/9). Kebetulan pula, H-3 adalah dimulainya cuti bersama nasional. Diperkirakan, para pegawai negeri sipil (PNS) maupun swasta yang akan mudik juga sudah mulai akan meninggalkan Bali.
Yang namanya puncak, jelas akan ada berbagai dampak di dalamnya. Mulai padatnya arus lalu lintas, kemacetan hingga masalah-masalah lainnya. Termasuk kecelakaan hingga bentuk kriminal lainnya. Sehingga, selain kewaspadaan dari para pemudik sendiri, diperlukan ekstra kerja keras dari pihak terkait untuk mengaturnya. Mulai pemerintah daerah (Dishub) hingga kepolisian.
Budaya mudik memang tidak diatur dalam ajaran Islam. Bahkan di negara-negara Islam sekalipun, nyaris tidak ditemukan kultur pulang kampung masal itu. Namun demikian, bagi mayoritas umat muslim negeri ini, tak lengkap rasanya berlebaran jika tak kembali ke kampung halaman. Terutama bagi mereka yang merantau di kota. Mengunjungi orang tua, dan sanak saudara bak “wajib” hukumnya, karena hanya setahun sekali.
Akibatnya, dampak mudik secara ekonomi pun tak bisa dihindarkan. Bahkan, tak jarang segala cara dilakukan untuk bisa mudik. Mulai menghabiskan tabungan setahun, mencari utangan, hingga rebutan tiket di terminal, pelabuhan, stasiun kereta api, bahkan bandara adalah bagian dari tradisi mudik itu sendiri.
Tidak hanya secara ekonomi, budaya mudik juga berimbas secara sosial. Terutama pasca lebaran. Bukan rahasia umum, jika pemudik yang sukses di kota akan menambah tingkat urban. Sehingga, saat arus balik jumlah pendatang diyakini akan meningkat. Soal satu Ini juga harus mendapat perhatian di Bali. Sebab, Bali khususnya Denpasar merupakan salah satu tujuan potensial bagi yang ingin mengadu nasib.
Terlepas dari itu semua, tradisi mudik harus diakui adalah bagian tak terpisahkan dari negeri ini. Sesuatu yang mustahil dihentikan. Yang diperlukan hanyalah kewaspadaan semua pihak agar agenda itu tidak sampai memakan korban. Hampir setiap tahun, korban jatuh dalam mudik selalu meningkat. Terutama dari pengendara kendaraan pribadi yang harus mentaati rambu dan aturan berlalu lintas. Semua demi keselamatan diri sendiri, anak istri dan saudara yang diajak mudik. Hingga selamat saat pulang dan kembali ke tujuan asal.
Demikian pula dengan pihak pengusaha maupun personil angkutan mudik maupun arus balik lebaran. Mulai sopir, nakhoda, masinis, hingga pilot, harus mengutamakan keselamatan penumpangnya saat mencapai tujuan. Jangan sampai, keinginan penumpang bertemu sanak saudaranya di hari yang fitrah itu berakhir petaka.(*) Foto: via Media Indonesia

Komentar

Postingan Populer