Perda Tajen

WACANA usulan payung hukum untuk tajen kembali mencuat. Adalah Ida Pedanda Made Gunung yang mengemukakannya, saat acara setahun kepemimpinan Gubernur Made Mangku Pastika, di hotel Aston, Denpasar, Jumat (4/9) lalu. Ini adalah usulan kali kesekian, yang dalam beberapa tahun terakhir marak dibahas dalam seminar maupun diskusi di Bali.
Usulan sang Sulinggih masih tak jauh beda dari usul-usul sebelumnya. Yakni adanya kepastian secara hukum berupa Perda (Peraturan Daerah) soal tajen. Terutama dalam memilah antara tajen (judi) dan upakara tabuh rah saat piodalan di pura. Sebab, selama ini terjadi penyalah artian antara tajen dan tabuh rah oleh umat, yang kerap tumpang tindih.
Jadi, lebih tepat jika usul tersebut adalah adanya payung hukum untuk tabuh rah itu sendiri. Sebab, tajen dari segi apapun, tetaplah judi. Dan itu berarti, Bali sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), juga harus mentaati aturan Pasal 303 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perjudian.
Memang, usulan Pedanda Gunung, sepertinya bakal bernasib tak jauh beda dari wacana sebelumnya. Meskipun mendapat dukungan dari Anggota DPRD Bali asal Partai Golkar, Cok Budi Suryawan, bukan berarti tanpa halangan. Apalagi, Gubernur Pastika sudah menyatakan hal itu sulit diwujudkan.
Harus disadari, memilah antara budaya dengan agama jelas sesuatu yang sulit. Akan terjadi benturan, karena antara kebiasaan turun menurun dengan ajaran agama yang suci jelas sesuatu yang berbeda. Secara budaya, tajen sudah dianggap permainan “umum” bagi orang Bali. Namun dari sisi agama, jelas tajen dengan taruhan berupa uang di dalamnya adalah judi yang dilarang agama manapun termasuk hindu.
Selain itu, jika tajen diperdakan, lalu bagaimana dengan bentuk judi lainnya? Tentu para pecinta ceki, bola adil, judi remi, toto gelap (togel) dan judi lainnya, akan meneriakkan tuntutan yang sama. Itu baru di lingkup lokal. Akan menjadi rancu jika daerah lain yang juga punya tradisi judi mendengar Bali punya Perda khusus tajen. Sebab, jenis judi sabung ayam di negeri ini, juga dapat ditemukan hampir di sejumlah daerah.
Kita juga menyadari, Negara ini masih mengharamkan judi secara resmi. Tidak seperti halnya Malaysia yang walaupun memberlukan syariat islam, tapi memiliki aturan main jelas dengan melegalkan kasino dan rumah judi, dengan syarat ketat.
Usulan Ida Pedanda Gunung memang sudah jelas, bahwa yang diperdakan adalah mengarah ke aturan soal Tabuh Rah, bukan soal tajennya. Ini lah kemungkinan salah satu penyebab, soal tajen kerap tarik ulur. Sebab, seharusnya, yang lebih difokuskan adalah soal aturan main rabuh rah yang kerap disalah gunakan.
Jadi, sudah saatnya, tokoh masyarakat dan tokoh agama Hindu di Bali menyatukan visi untuk fokus mengegolkan aturan main soal tabuh rah. Sementara untuk tajen, memang juga harus mendapatkan jalan keluar. Sebab, menghilangkan budaya tajen di Bali jelas sangat berat bahkan bisa disebut mustahil.(rosihan anwar(sihan_radar@yahoo.com))

Komentar

Postingan Populer