Olahraga Bali dalam Status “Gawat Darurat”
Peringatan
Hari Olahraga Nasional (Haornas) yang jatuh setiap 9 September (kemarin),
diwarnai duka insan dan dunia olahraga Bali. Atlet judo Bangli Wayan Agus
Widiantara meninggal saat bertanding di arena Porprov Bali XII/2015 di
Buleleng.
Kematiannya
pada Selasa siang, 8 September 2015, itu sungguh menyayat hati. Seorang atlet
yang sedang berjuang membela nama daerahnya harus kehilangan nyawa. Siapa yang salah?
Tak
salah jika Ketua Umum KONI Bali Ketut Suwandi menyebut ini musibah. Bisa saja,
sebagai orang beriman, kita percaya soal umur manusia adalah takdir. Tapi, apa
itu cukup? Tentu tidak. Kematian Agus bukan yang pertama tahun ini. Pada 17
April 2015 lalu, atlet pelajar pencak silat Klungkung bernama I Gede Artawan juga tewas
saat bertanding di arena Porsenijar Klungkung 2015. Pelajar kelas XII jurusan
IPB2 SMA Pariwisata Klungkung, itu meregang nyawa setelah diduga terkena
tendangan di dada.
Ya,
dalam setahun, dua jiwa generasi muda melayang di lapangan. Ya, dunia olahraga
Bali kini berstatus Gawat Darurat!
Di
luar kedua peristiwa itu adalah musibah, tragedi ini tetaplah serius. Karena
menyangkut keselamatan jiwa. Bagaimana kejadian ini menjadi pelajaran
sangat-sangat berharga bagi insan olahraga Bali. Mulai petinggi KONI, pengurus
cabang olahraga, pelatih, ofisial, petugas medis dan atlet itu sendiri. Bahwa
olahraga bukan sekadar mengejar prestasi dan bonus semata. Tapi lebih dari itu,
olahraga seharusnya adalah kegembiraan, sportivitas, dan yang utama keselamatan
jiwa.
Siapa
pun maklum, jika olahraga, terutama cabor bela diri, penuh risiko dan keras.
Soal atlet berdarah-darah, cedera, patah tulang hingga cacat atau meninggal
dunia adalah bagian dari risiko menjadi olahragawan. Tapi, harus diingat,
masing-masing olahraga dilahirkan dengan rambu-rambu dan regulasinya sendiri.
Semua tentu bermuara pada keselamatan jiwa atlet.
Sudah
saatnya, dari peristiwa ini seluruh insan olahraga Bali mengambil pelajaran
berharga. Untuk kembali mengedepankan keamanan dan kondisi atlet. Bukan lagi
mengejar prestasi dengan membabi buta dan menghalalkan segala cara. Tidak
sekadar mengejar target-target dengan melupakan syarat-syarat kelayakan fisik
dan psikologis atlet.
Sudah
saatnya ada pengawasan maksimal saat atlet bertanding. Mulai oleh tim medis,
juri, wasit, pelatih dan ofisial. Bagaimana seorang pelatih benar-benar
mengetahui kondisi dan riwayat medis atletnya. Karena mereka lah unsur penting
keamanan dalam pertandingan. Soal kematian memang tak ada yang tahu. Tapi, tak
salah jika upaya antisipasi dan pengawasan diutamakan. Dan tak kalah penting
adalah atlet jujur mengakui kondisi kesehatannya.
So, siapa yang salah dalam tragedi
Buleleng? Sah-sah saja kita menyebutnya musibah. Dan nasi sudah jadi bubur. Kepergian Agus Widiantara pun sudah kita ikhlaskan. Semoga Agus tenang di alam barunya,
dan orang tua, keluarga, saudara, serta teman-temannya dikuatkan dan tabah.
Cukup tragedi kematian Agus menjadi yang terakhir di pentas olahraga Bali.
Jangan lagi ada atlet yang meregang nyawa saat melakoni olahraga yang dia
geluti dan cintai.
Saya
percaya, setiap cabang olahraga sudah memiliki protap baku dalam menggelar
pertandingan. Terutama untuk keselamatan atlet. Kita pun yakin dan percaya, tak
ada pengurus olahraga dan pelatih yang ingin atletnya kehilangan nyawa saat
bertanding.
Tapi,
dunia olahraga Bali sudah terlanjur berstatus gawat darurat. Setidaknya menurut
saya. Mari introspeksi. Dan, sudah saatnya regulasi dan protap setiap cabang
olahraga benar-benar ditegakkan, dan bukan malah diakal-akali..!
Selamat
Hari Olahraga Nasional. Selamat jalan dan terima kasih Agus Widiantara… (*)
Komentar